Oleh Anom Prihantoro



Hari Buruh Internasional yang belakangan lebih populer dengan istilah May Day kian akrab dengan kepentingan politik, terutama pada saat-saat jelang pemungutan suara Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014.

Menurut Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal, suara buruh memiliki potensi sangat nyata dalam mendongkrak perolehan dukungan seorang capres sehingga "kue suara" itu layak untuk diperebutkan sejumlah capres yang maju dalam bursa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2014.

"Ada 44 juta orang buruh formal, sebanyak 1,4 juta di antaranya merupakan anggota KSPI," katanya.

Sementara itu, guru honorer dan tenaga honorer mencapai 1,6 juta, kemudian jika digabungkan dengan organisasi guru resmi ada lebih dari 3,7 juta. "Maka, itu angka yang signifikan untuk memberi dukungan kepada capres yang mau memenuhi tuntutan kami," katanya.

Perbedaan dukungan di kalangan buruh justru tampak dari perbedaan posisi politik dua serikat pekerja yang terbilang besar basis massanya, Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia dan Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI).

KSPI yang dipimpin Said Iqbal secara terang-terangan menyatakan dukungannya kepada bakal calon presiden Prabowo Subianto, sementara KSPSI pimpinan Andi Gani Nena Wea merasa lebih "sreg" jika merapat ke kubu Joko Widodo.

Prabowo atau Jokowi?
Salah satu pernyataan Said Iqbal pada peringatan dan unjuk rasa May Day 1 Mei 2014 jelas-jelas menyatakan posisi politik dari para buruh dari KSPI tentang mendukung Prabowo dan mengesampingkan Jokowi.

"Selama Prabowo bersedia menandatangani kontrak politik dengan kami, akan kami dukung," kata Said.

Dukungan tersebut memiliki arti, yaitu mengesampingkan rekam jejak Prabowo terkait dengan pelanggaran hak asasi manusia pada masa lampau.

Said justru memberikan pembelaan atas isu-isu pelanggaran hak asasi manusia yang diduga pernah dilakukan politikus senior Partai Gerindra itu.

Selain itu, dia mengatakan bahwa jika isu pelanggaran HAM dengan penculikan aktivis itu benar dilakukan Prabowo, saat itu tidak terkait dengan buruh.

Lebih jauh, Said menyatakan tidak percaya dengan penculikan aktivis oleh mantan Komandan Jenderal Komando Pasukan Khusus (Kopassus) itu. Dengan begitu, dukungan KSPI kepada Prabowo merupakan hal yang sah untuk dilakukan.

"Jangan dicampuradukkan dengan masa lalu. Dia (Prabowo) sudah berupaya membuktikan dan menjawab terkait tidak tersangkut pelanggaran HAM," katanya.

Isu tentang pelanggaran HAM memang kerap menerpa Ketua Umum Dewan Pembina Gerindra tersebut.

Prabowo dituding sejumlah pihak turut bertanggung jawab dalam kasus penculikan dan hilangnya aktivis prodemokrasi jelang reformasi 1998.

Said sendiri menyatakan siap membuka mata terkait dengan isu itu, tetapi tidak lantas membenarkannya secara bulat-bulat.

Dia menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengamati isu-isu kelam kemanusiaan yang menempel pada Prabowo. Baginya, apabila politikus Gerindra itu benar-benar terbukti melakukan pelanggaran HAM, KSPI siap menarik dukungannya.

Terlepas dari isu itu, Said meyakini apabila mantan militer itu mau dan mampu untuk menyanggupi kontrak politik KSPI-Prabowo terkait dengan sepuluh tuntutan KSPI jika dia berhasil melenggang merebut RI 1 pada Pilpres 2014.

Sepuluh tuntutan itu di antaranya penaikan upah minimum 2015 sebesar 30 persen dan revisi KHL menjadi 84 item, penolakan penangguhan upah minimum, pemberlakuan jaminan pensiun wajib bagi buruh pada bulan Juli 2015, pemberlakuan jaminan kesehatan seluruh rakyat dengan pencabutan Permenkes 69/2013 tentang tarif, serta mengganti INA CBG`s dengan "Free For Service" serta audit BPJS, penghapusan tenaga alih daya (outsourcing) sekaligus pengangkatan sebagai pekerja tetap seluruh pekerja outsourcing, terutama di BUMN.

Selain itu, KSPI menuntut pengesahan RUU PRT dan revisi UU Perlindungan TKI No. 39/2004, pencabutan UU Ormas ganti dengan RUU Perkumpulan, pengangkatan pegawai dan guru honorer menjadi PNS serta subsidi Rp1 juta per orang per bulan dari APBN untuk guru honorer, penyediaan transportasi publik dan perumahan murah untuk buruh dan pemberlakuan wajib belajar 12 tahun dan beasiswa untuk anak buruh hingga perguruan tinggi.

Sementara itu, lain KSPI maka lain pula KSPSI. KSPSI boleh saja berbeda pendapat karena menurut Andi dalam demokrasi perbedaan itu merupakan warna yang lumrah. "Itu adalah bunga-bunga demokrasi," katanya.

"Sehubungan dengan kesamaan prinsip ekonomi kerakyatan sesuai dengan Pasal 33 UUD 1945, KSPSI mendukung ide dan gagasan pendeklarasian Relawan Buruh Sahabat Jokowi di seluruh wilayah Indonesia," katanya.

Menurut Andi, Jokowi memiliki kesamaan platform perjuangan dengan KSPSI. "Visi, misi, dan aksi dari kepemimpinan Bapak Jokowi menuju pada kebijakan publik yang prorakyat," katanya.

Andi melihat Jokowi memiliki rekam jejak yang baik dalam memperhatikan kaum buruh. Dia yakin mantan Wali Kota Surakarta itu dapat meneruskan sejumlah catatan positif pemerintahan Jokowi apabila yang bersangkutan berhasil merebut kursi presiden.

"Saat Jokowi menjadi Gubernur DKI dia punya Kartu Jakarta Pintar (KJP). Kami percaya dia akan menjaga kepercayaan para buruh jika berhasil menjadi presiden. Kami berharap nantinya ada kartu pintar sejenis untuk rakyat Indonesia," kata Andi.

Meski begitu, Andi menyatakan KSPSI tidak serta-merta memberikan dukungan kepada Jokowi.

Ia menekankan, "Kami mensyaratkan Jokowi harus mau menandatangani kontrak politik yang terkait dengan kesejahteraan buruh."
"Kami akan menagih janji dalam kontrak tersebut apabila nanti Jokowi berhasil menjadi presiden. Jika ingkar, kami akan menarik dukungan," ujarnya.

Sebagian Serikat Abstain
KSPI dan KSPSI boleh saja mendukung capres. Akan tetapi, bagi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) justru menolak mendukung capres mana pun.

"KASBI sudah memiliki sikap politik tersendiri bahwa kami tidak mendukung capres A, B, C, atau D. Namun, bagi kami kalau pemimpin yang dilahirkan besok masih memiliki watak yang sama dengan hari ini, tidak ada bedanya," kata Ketua Umum KASBI Nining Elitos.

Dia mengatakan bahwa anggota KASBI bebas menentukan hak pilihnya.

Sementara itu, Nining enggan menyebut dua konfederasi besar, KSPI dan KSPSI, sedang menjual massanya kepada politikus atau parpol.

"Ya, itu bisa saja terjadi. Itu hak mereka dan saya tidak mau mencampuri urusan setiap individu. Setiap organisasi memiliki hak. Akan tetapi, kami masih punya pandangan politik tersendiri," kata dia.

Tidak Ada Perpecahan

Di tengah pecahnya perbedaan sikap politik menggiring pemikiran publik mengenai perpecahan dalam serikat buruh. Salah satu penandanya adalah tidak bersamanya sejumlah serikat dalam menggelar unjuk rasa May Day di titik-titik strategis di Jakarta.

KSPI memilih melakukan demonstrasi pada tanggal 1 Mei 2014, sedangkan KSPSI sehari setelahnya atau 2 Mei 2014. Selain itu, KSPSI justru "merayakan" Hari Buruh Internasional dengan melakukan bakti sosial di sejumlah tempat di Indonesia.

Di tengah adanya isu perpecahan dalam tubuh serikat-serikat buruh, Andi Gani pun bersuara tentang organisasi-organisasi yang menaungi para pekerja itu masih solid.

Dia mengatakan bahwa tidak ada perpecahan di antara konfederasi serikat pekerja meski terjadi ketidaksamaan dukungan terhadap calon presiden.

"Kami saling menghargai di antara serikat buruh, ada yang mendukung Joko Widodo dan ada juga yang mendukung Prabowo Subianto," katanya.

Menurut dia, masing-masing konfederasi menyerahkan pilihan sesuai dengan hak politik dari setiap warga negara. Untuk itu, tidak perlu ada permasalahan terkait dengan dukungan serikat buruh kepada figur tertentu agar melenggang menjadi presiden lewat Pilpres 2014.

"Intinya tidak ada perpecahan di antara organisasi buruh yang ada adalah perbedaan dukungan. Lebih penting dari itu adalah pandangan kami tetap sama untuk tetap memperjuangkan hak buruh," katanya. (A061)

Pewarta: Anom Prihantoro

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2014