Oleh: Imran Napitupulu

Medan, 14/4 (Antarasumut) - Sarung birunya terpercik cipratan lumpur coklat sisa genangan air hujan semalam. Jejak langkahnya meningggalkan bekas di tanah becek hingga akhirnya berhenti dekat sebuah kandang bebek.

Bertelanjang dada seolah tidak merasakan dinginnya udara pagi menusuk, lelaki paroh baya itu dengan tertatih membuka pintu kandang. Kedua kakinya memang sudah mengalami perobahan hingga terlihat tidak lagi sempurna.

Derita yang sangat telah mendera lelaki berambut lurus bertubuh kurus itu sejak usianya menginjak remaja.

Awalnya, saat masih duduk di bangku kelas 3 SD Inpres di kampungnya Kutacane, Kabupaten Aceh Tenggara, Syarifuddin kecil menderita gatal mirip panu. Bintik putih mirip gambar bunga itu kian membesar hingga akhirnya menggerogoti jari tangan dan tungkai kakinya.

Pengobatan alternatif telah diupayakan kedua orangtuanya demi menyembuhkan buah hati yang menjadi tumpuan harapan mereka.

Bahkan mereka sempat gonta ganti dukun kampung. Hasilnya? Bukannya sembuh, tapi malah keadaan si sakit semakin parah saja. Padahal biaya yang dikeluarkan untuk berobat sudah tidak sedikit.

Syarifudin pun menjalani pengobatan di Sicanang, Belawan. Lelaki berkulit sawo matang itu menjadi penghuni rumah sakit kusta terbesar di Sumatera Utara tersebut terbilang sejak 1 Januari 1987. Berbaur dengan ratusan penghuni lain berpenyakit serupa.

Kalimat selamat tinggal diucapkan Syarifudin ke RS Secanang pada April 1988. Ia berpaling ke panti kusta Hutasalem, Laguboti. Tempat ini berjarak sekitar 10 kilometer dari Balige, ibukota Kabupaten Tobasa.

Ia berdiam di sana hingga hari ini. Hidup ia jalani dengan lebih realistis setelah merasakan pahit yang sangat. Diusir orang sekampung serta dikucilkan keluarga telah ia alami, dan itu menjadi luka batinnya yang permanen.

Bagi penduduk desa, kusta adalah penyakit kutukan ibarat dosa tidak terampun, sehingga pengidapnya harus dijauhkan.

Syarifuddin anak sulung dari 6 bersaudara. Saudara kandungnya 3 perempuan dan 2 laki-laki, sehat semua. Mereka semua kini telah berkeluarga.

Kusta tidak lantas membuat surut semangat lelaki yang lahir pada 51 tahun silam ini dalam mengarungi kehidupan getir yang menjadi garis takdirnya.

Selalu ada canda bahagia yang membuat hatinya berbunga ceria. Pemantiknya adalah si buah hatinya, M.Ilham, yang cerdas dan sehat. Bocah lucu ini lahir tepat pada perayaan Natal 25 Desember 2009.

Keheningan kerap mengisi lahan komplek Hutasalem yang berukuran kurang lebih 60 hektar. Sering hanya suara sayup daun-daun saling bersahutan dari pohon-pohon durian, kemiri, dan petai yang terdengar di sana.

Simanjuntak, petugas medis yang mengenakan baju putih bersih, mengungkapkan bahwa sejak tiga tahun terakhir panti ini sudah diambil alih Dinas Sosial Kabupaten Tobasa. Sebelumnya pengelolanya adalah Dinas Kesehatan Propinsi Sumatera Utara.

Sebuah rumah sakit khusus menangani kaum difabel tersedia di sana. Pengobatan diberikan secara cuma-cuma ke mereka yang dirawat.
"Setiap tahun, Rp150 juta dianggarkan pemerintah daerah untuk memenuhi kebutuhan mereka," kata Batubara, kepala Dinas Sosial Tobasa.

Sebuah rumah dinding papan berukuran 3x4 meter bangunan Dinas Sosial sudah bertahun-tahun ada di sana. Syarifuddin menempatinya bersama keluarga kecilnya. Bangunan tua agak reot itu masih tetap menyimpan diam dengan beragam tanya.

Hari masih teramat pagi tatkala Syarifuddin membenahi warung kecil yang menyatu dengan ruang tamu rumah yang ditempatinya.

Aneka kebutuhan tambahan dijualnya di sana, seperti rokok, sampo, serta beberapa jenis jajanan yang biasa dibeli anak-anak sekitar masjid satu-satunya di komplek panti kusta. Yang berbelanja di sana umumnya sesama kaum difabel dan warga setempat.

Ada saja warga yang datang menyambangi rumah ini untuk membeli hasil kebun Aziah, istri Syarifuddin. Berkulit hitam manis dan tinggi semampai, ia merupakan pasien kusta yang terselamatkan.

Perempuan yang kini berusia 40 tahun tersebut tidak mengalami cacat fisik apa pun sehingga penampakannnya tidak berbeda dengan ibu normal lain.

Dulu, sewaktu menjalani masa pengobatan, hati Aziah tertambat pada Syarifuddin. Saling jatuh cinta, keduanya kemudian menikah. Setelah menanti cukup lama mereka akhirnya dikaruniai buah cinta.

Selain membuka warung, keluarga ini menghidupi diri dengan beternak ayam dan itik. Mereka juga berkebun sayur dan jagung.

Suara marginal
Entah mengapa, Pemilu sekarang ini berbeda dengan yang sudah-sudah. Sebelumnya suara Syarifuddin dan kaum difabel lain seolah tidak diperhitungkan saban musim pemilu. Media massa sendiri jarang meliput proses pecoblosan di tempat mereka.

Dalam perhelatan pesta demokrasi, pemilu, kali ini rasanya tidak ada perlakuan khusus bagi Syarifuddin dan sekitar 80 orang difabel di panti Hutasalem.

“Satu TPS akan ditempatkan di sana,” ucap Ketua KPU Toba Samosir (Tobasa), Rinto Hutapea.

Achmad Saleh Simamora, bersedia menjadi relawan pemilu di sana. Pria yang juga dari kaum difabel ini bertugas mengawasi jalannya pemungutan suara di Hutasalem.

Namun kali ini panti sering dihadirkan keramaian yang tak biasa. Para calon legislatif berbondong-bondong mengadakan kunjungan silih berganti.

Mereka menyuarakan janji-janji dan membangun harapan di antara kusutnya mimpi-mimpi Syarifuddin dan teman-temannya.

Kemunculan tokoh politik mengatasnamakan demokrasi, datang dari berbagai partai dan mengenalkan calon demi calon menjadi fenomena menarik untuk ditilik. Kaum marjinal kemudian mendapat perhatian yang terbilang khusus seiring mengudaranya aroma pesta demokrasi.

Tidak lagi terlihat perbedaan antara hak-hak politik milik mereka, sebab pertanyaan sebenarnya bukan siapa yang akan mereka pilih, tapi apa yang mereka ketahui. Pemahaman kaum difabel di Panti itu bisa jadi tidak memadai mengenai proses Pemilu.

Belum pernah terlihat ada Caleg ataupun pengurus Partai di Hutasalem memberi gambaran sejauh mana hak suara yang harus diberikan kaum difabel pada pesta rakyat yang digelar sekali dalam lima tahun itu.

Tak bisa dipungkiri dan masyarakat luas juga sudah tau. Dana berjumlah tidak sedikit yang dihabiskan untuk sebuah perhelatan Pemilu seolah seperti sia-sia. Masih selalu saja ada kaum marginal yang pengetahuan akan haknya tidak tersalurkan dalam demokrasi.

Di tengah kebingungan masyarakat komplek, Syarifuddin bersama beberapa orang temannya justru menempuh jalan pintas. Menjadi apatis, untuk tidak menggunakan haknya sebagai warga negara.

"Kami bingung, harus bagaimana dalam Pemilu ini," ujar Syarifuddin, polos dan lugu.

Bahkan mereka pernah mengusulkan agar tidak ikut melakukan pemungutan suara. Pemilu menjadi hal yang rumit dirasakan. Apalagi Caleg yang berkunjung kerap menawarkanmoney politic. Ingin membeli suara.

Demokrasi bukan lagi dianggap sebagai sebuah kebebasan. Kemunculan “suap” bisa jadi jalan lintas untuk memaksa.

Anehnya, para Caleg yang datang bukan untuk melakukan pendidikan politik. Bukankah hakikat kampanye untuk meyakinkan pemilih dengan visi misi dan pembelajaran politik ? Hakekat sesungguhnya adalah pendidikan politik. Bukan "money politics".

Mereka datang membawa berbagai bingkisan yang hanya akan menghasilkan setumpuk kabar luka, menahan sakit, menahan tangis dari makna demokrasi yang kian tercabik. Caleg busuk itu datang hanya untuk membawa pembodohan.

Entah kenapa, beberapa penghuni kompleks tergoda dan tak kuasa menolak hadiah yang disodorkan Caleg busuk dengan cara halus sedikit memaksa. Pada akhirnya banyak yang harus tunduk atas keinginan untuk menerima.

Caleg berbagai Parpol yang bergerilya politik ke komplek panti, sepertinya hanya akan menjadikan para penghuninya sebatas mesin pendukung suara, sebab pendidikan politik tidak pernah dimunculkan.

Pengurus partai juga hampir tidak jauh beda. Penghuni panti hanya dicari dan dirangkul saat suara dan kehadiran mereka diperlukan di TPS. Selebihnya, tak perlu lagi mendapat perhatian lebih serius.

Syarifuddin merasa gembira, sebab masih saja ada segelintir di antara teman-temannya seperti Amirsyah dan Hamzah yang tidak goyah.

Dengan cara itu mungkin adalah kemenangan yang terakhir bagi mereka. Berani tegas menolak pemberian yang hanya akan menyisakan kesengsaraan selama lima tahun ke depan.

"Aku ingin berperang untuk melawan praktik money politic di daerah ini," kata Sarma Hutajulu, seorang Caleg dari PDI-P, menyatakan komitmennya.

Dia mengatakan masyarakat jangan mau diberi uang Rp100 ribu, lalu kemudian memilih orang yang berpotensi membawa keburukan dengan melakukan tindak pidana korupsi ketika sudah terpilih menjadi wakil rakyat di kursi Legislatif.

Menurut Sarma, Dapil 9 Sumatera Utara meliputi Kabupaten Tobasa, Samosir, Taput, Humbahas, Sibolga dan Tapteng dijuluki daerah pemilihan neraka.Tak heran sebutan itu bisa populer, karena sejumlah Caleg berduit mencalonkan diri dari sana.

Mereka rela menghambur-hamburkan rupiahnya demi memenuhi hasrat kekuasan dan kepemimpinan duniawi yang hanya sesaat. Demi tahta dan harta.

Satu dua orang memang masih saja ada calon wakil rakyat yang tetap berani memperlihatkan idealismenya meski jumlahnya tidak lagi banyak, bahkan bisa dihitung dengan jari tangan saja.

Suara Syarifuddin bersama beberapa temannya dianggap minor. Hak suara yang mereka miliki nyaris mengundang rasa malas dan hampir tak mau peduli. Ironi tersebut, jelas perlu mendapat kajian mendalam yang layak diperbincangkan di media.

Namun tidak sebatas diperbincangkan. Juga, perlu dijadikan sebagai wadah pembelajaran melalui liputan yang cerdas dan bernilai guna. Media perlu mengantarkan pemicu kembalinya semangat para penghuni Panti Kusta Hutasalem untuk lebih antusias menghadapi Pemilu.

Harus diakui, “the voice of the voiceless” berbagai media masih jarang hadir untuk memberikan sentuhan dalam mengeksplorasi suara-suara kaum tak bersuara itu terhadap proses Pemilu di lingkungan panti Hutasalem.

Dalam demokrasi tidak ada diskriminasi pada siapa pun. Semua warga Negara Indonesia memiliki hak yang sama dalam menyuarakan pilihannya. Termasuk penyandang difabel.

Pemilu yang bersih tentu saja akan menghasilkan wakil rakyat dan eksekutif yang mengusung kepentingan rakyat.

Syarifuddin masih tetap terenyuh dengan berbagai tanya dalam ketidak mengertiannya. Tidak jelas, suara bingung mereka menjadi tanggung jawab siapa. (IN)
--------------
*) Liputan ini terlaksana berkat kerja sama dengan “Yayasan KIPPAS dan Uni Eropa"

Pewarta: Imran Napitupulu

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2014