Washington, 13/6 (Antara/AFP) - Seorang dokter dan dua pengacara Amerika Serikat pada Rabu menyerukan pengakhiran makan paksa tahanan mogok makan di teluk Guantanamo, dengan menyatakan tindakan itu bertentangan dengan etika medis dan bentuk penyerangan.

"Memaksa makan orang mampu bukan tindakan kedokteran, melainkan serangan parah," kata pakar dari Departemen Hukum Kesehatan, Bioetika, dan Hak Asasi Manusia di Universitas Boston.

"Dokter tidak etis memaksa makan orang mampu, tapi mereka harus terus memberikan perawatan medis untuk menolong pemogok makan," kata ulasan di "New England Journal of Medicine".

Para penulis menyerukan lebih banyak dokter berbicara menentang kebijakan di perang Amerika Serikat melawan teror di penjara di pangkalan angkatan laut negara adidaya itu di teluk Guantanamo, Kuba, tempat jumlah tahanan mogok makan menggelembung dalam tiga bulan belakangan.

Empatbelas orang mogok makan dan delapan lagi mendapat makanan melalui hidung pada 15 Maret, kata angka siaran tentara Amerika Serikat.

Pada 12 Juni, hampir dua pertiga -104 dari 166 tahanan di penjara itu-melakukan mogok makan dan 43 dipaksa makan.

"Mogok akan adalah kegiatan politik damai untuk menentang keadaan penahanan atau penjara. Itu bukan keadaan medis," kata dokter menulis, menunjuk kesalahan pernyataan tentara bahwa memaksa makan diperlukan untuk menyelamatkan nyawa.

Pada 2006, Departemen Pertahanan Amerika Serikat mengeluarkan perintah, yang menyatakan campur tangan medis tanpa persetujuan tahanan diizinkan dalam mogok makan, bunuh diri atau upaya lain menyakiti diri.

"Kebijakan itu keliru menyamakan mogok makan dengan bunuh diri. Pemogok makan tidak mencoba bunuh diri. Sebaliknya, mereka bersedia mati jika tuntutan tidak dipenuhi," kata tulisan tersebut.

"Tujuan mereka bukan mati, tapi ketidakadilan ditangani," kata dokter Sondra Crosby dari Departemen Kedokteran Unversitas Boston dan ahli hukum George Annas serta Leonard Glantz.

Mahkamah Agung Amerika Serikat dan standar etika medis antarbangsa menyatakan bahwa keputusan menolak perawatan, dengan pengetahuan bahwa kematian akan mengikuti, tidak sama dengan bunuh diri, kata mereka.

Ketiganya menyatakan Deklarasi Malta Perhimpunan Kedokteran Dunia mempertimbangkan standar mengenai mogok makan dan menyatakan memaksa makan yang secara mental mampu "tidak pernah diterima secara etis" dan "adalah bentuk perlakuan tidak manusiawi dan merendahkan martabat".

Saat mogok makan berkembang, Departemen Pertahanan Amerika Serikat mengirim lebih banyak tenaga kesehatan -sekitar 40 orang tambahan- untuk membantu gerakan paksa-makan.

Keadaan itu menimbulkan kekhawatiran Perhimpunan Kesehatan Amerika, yang menyurati menteri pertahanan pada April bahwa pemaksaan makan melanggar inti nilai etis profesi medis.

Tapi, penulis itu menyatakan lobi politik lebih diperlukan untuk menghentikan paksa-makan itu, dengan mencatat bahwa Guantanamo merupakan "noda pada etika medis", yang tidak akan pudar.

"Dokter Amerika Serikat belum banyak mengritik kebijakan medis di penjara teluk Guantanamo, yang melanggar etika kedokteran. Kami percaya bahwa mereka harus melakukannya," kata para ahli itu dalam lembaran mereka, berjudul "Teluk Guantanamo: Wilayah Bebas Etika Medis?" "Dokter di Guantanamo tidak boleh mengizinkan tentara menggunakan mereka dan keterampilan medis mereka untuk tujuan politik dan masih mematuhi kewajiban etika mereka," katanya.

Tanggapan terpisah di jurnal sama oleh sarjana Israel Michael Gross dari Universitas Haifa menyatakan mogok makan oleh tahanan keamanan "menimbulkan dilema menyiksa".

Mogok makan hanya memberi tiga pilihan kepada petugas penjara: biarkan mereka mati, mengabulkan tuntutan mereka, atau paksa makan, katanya.

"Sungguh tak terbayangkan bahwa masyarakat saat ini membiarkan 10 Tentara Republik Irlandia pemogok makan mati kelaparan seperti yang dilakukan Inggris di Irlandia Utara pada 1981," kata tulisannya.

"Sebaliknya, kita harus berpikir tentang bagaimana memberi makan pemogok secara manusiawi," katanya.

(Uu.SYS/C/B. Soekapdjo/C/B. Soekapdjo) 14-06-2013 00:33:34

Pewarta:

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013