Jakarta, 31/5 (Antara) - Setiap mendekati 1 Juni maka pandangan bangsa ini mengarah menuju dasar negara Republik Indonesia, Pancasila, yang memang dalam sejarahnya dicetuskan pada tanggal itu.

Sepanjang pemerintahan Orde Baru, Pancasila sedemikian disakralkan sehingga harus menjadi asas tunggal seluruh organisasi tanpa kecuali. Pemahamannya diteguhkan dengan pelaksanaan penataran Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).
Secara masif penataran P4 dilaksanakan hampir di setiap tingkatan sejak memasuki bangku SMP, SMA, mahasiswa bahkan memasuki dunia kerja dengan lama penataran bervariasi.

Saat itu semua diwajibkan hafal 36 butir Pancasila yang merupakan pengejawantahan pengamalan dari lima sila yang ada.

Di setiap kali berlangsungnya ujian, dalam mata pelajaran Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dipastikan akan disinggung mengenai 36 butir Pancasila tersebut.

Pemassalan pemahaman Pancasila yang menjadi keputusan pemerintah saat itu dapat dipahami sebagai sebuah upaya untuk mendorong bangsa Indonesia mengenal nilai-nilai Pancasila dan bisa menjalankan nilai-nilai saat itu.
Sejak Indonesia merdeka hingga hari ini, salah satu perekat kesatuan bangsa memang salah satunya adalah dasar negara, Pancasila selain adanya bahasa persatuan serta pilar-pilar lainnya.

Namun ketika saat itu Pancasila sudah menjadi seperti dogma dan semua pihak dipaksa sepakat dan harus menjalani nilai-nilai Pancasila yang bentuknya telah dibakukan membuat sebagian kalangan menilai bahwa P4 dimaksud merupakan personifikasi dari rezim Orde Baru, sehingga ketika pemerintahan berganti maka nilai-nilai yang sebetulnya terus relevan dan baik itu ikut dipinggirkan karena dinilai identik dengan Orde Baru.

Reformasi dan Kebebasan

Saat angin reformasi bertiup semakin kencang pada paruh pertama tahun 1998 dan puncaknya pada Mei 1998 terjadi pergantian pemerintahan maka saat itu pula terbuka saluran demokrasi antara lain kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, kebebasan berpolitik dan segala macam jenis-jenis pembebasan lainnya.

Seketika itu pun, penataran P4 dihapuskan. Pendidikan etika, moral dan juga perilaku diserahkan ke masing-masing individu untuk memaknainya.

Di era kebebasan ini, kerap kali disalahartikan antara aturan dan pengekangan, antara disiplin dengan penindasan, antara hak dengan kebebasan berbuat apapun meski menabrak aturan, antara kewajiban dengan pemaksaan.

Di satu sisi kebebasan berpendapat dan juga hak untuk berekspresi mengalami kemajuan luar biasa namun di sisi lain upaya untuk memelihara perasaan saling memahami, etika berperilaku dan menyeimbangkan antara hal dan kewajiban semakin berkurang dan terpulang ke masing-masing individu.

Pancasila dan nilai-nilai yang terkandung sempat terlupakan meski ada sejumlah komponen masyarakat yang kembali mengingatkan pentingnya kembali menyadari dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.

Di satu sisi pemerintah telah berusaha mendorong peningkatan kualitas hidup masyarakat lebih baik dibandingkan era sebelumnya.

Meski diakui oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan namun program-program menuju perbaikan kualitas hidup telah ada, tinggal dalam pelaksanaannya memerlukan pengawasan agar bisa memastikan berjalan sesuai dengan target dan tujuan.

Di sisi lain, ada pula kalangan yang berpendapat kinerja pemerintah tidak optimal, sejumlah kelemahan dan kekurangan masih menganga di sana-sini.

Pemerintah dituding tidak menjalankan program dengan baik dan kehidupan tidak mengalami perubahan.

Namun yang jelas, terlepas dari klaim pemerintah dan klaim kelompok yang beroposisi, banyak hal yang sebetulnya bisa diselesaikan dengan memperhatikan hal-hal sederhana yang sebetulnya bisa menyelesaikan permasalahan rumit di negeri ini.

Kembali ke keluarga
Melihat upaya memberikan pemahaman dan mengajak masyarakat untuk kembali menggali dan menjalankan nilai-nilai kehidupan sesuai dengan apa yang terkandung dalam sila di Pancasila seperti layaknya penataran P4 dan aneka gerakan masive lainnya jelas tidak mungkin dalam alam reformasi saat ini.

Keluarga adalah salah satu kunci mengembalikan pemahaman tentang etika, moral dan toleransi terhadap perbedaan. Pendidikan di dalam keluarga merupakan pendidikan pertama yang didapat oleh seorang anak sebelum ia berinteraksi dengan teman sebaya maupun orang lain dalam lingkungan yang ia masuki.

Sayangnya upaya-upaya mendorong agar setiap keluarga memiliki pola pengasuhan yang baik, peningkatan pengetahuan orang tua mengenai cara pendidikan anak hingga kepedulian terhadap kualitas anak dalam kegiatannya sehari-hari masih sangat kurang.

Berbagai kalangan masih lebih peduli terhadap kritik pada pemerintah atas korupsi, tindakan anarkis, terjadi konflik horizontal antar masyarakat hingga masalah-masalah yang terkait politik praktis dengan topeng janji untuk memberikan perubahan yang lebih baik bagi bangsa.

Semua persoalan di atas sebetulnya bisa diatasi bila kepedulian terhadap kualitas keluarga Indonesia lebih besar dari yang ada sekarang.

Bila anak sejak kecil dididik untuk jujur, toleran, taat aturan dan bertanggung jawab, maka kita tidak akan menghadapi masalah korupsi, kekerasan antar umat agama, konflik antar masyarakat dan juga pelanggaran aturan hukum saat si anak dewasa.

Pancasila dengan lima silanya sudah lengkap menjadi kunci jawaban atas semua permasalahan bangsa ini, bila sejak kecil telah diajarkan sesuai dengan karakteristik masing-masing keluarga, bukan dengan penyeragaman seperti di masa lalu yang kemudian menghasilkan generasi yang enggan menjalankan nilai-nilai Pancasila hanya karena mereka salah mempersepsikannya dan terus larut dalam euforia reformasi.(P008)

Pewarta: Panca Hari Prabowo

Editor :


COPYRIGHT © ANTARA News Sumatera Utara 2013